DJSN Evaluasi Ketahanan Dana Program JKm

DJSN Evaluasi Ketahanan Dana Program JKm

Program Jaminan Kematian (JKm) yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan berupa manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja menjadi salah satu program yang membantu meringankan beban keluarga yang ditinggalkan dalam bentuk biaya pemakaman, uang santunan, sampai beasiswa untuk anak.

Program JKm yang diluncurkan sejak Juli 2015 dengan total manfaat hingga Rp32 juta berdasarkan PP 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian yang kemudian diubah menjadi PP 82 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, dengan total manfaat hingga Rp174 juta.

Dengan adanya perubahan manfaat tersebut, sejak Februari 2020 terlihat selisih antara estimasi pembayaran manfaat dengan PP 44/2015 dengan pembayaran manfaat PP 82/2019 sejak 2 bulan setelah PP tersebut terbit. Pandemi covid-19 turut menjadi andil dalam terjadinya peningkatan sejak April 2021 dan pembayaran manfaat tertinggi sebesar 225% (Rp308 milyar). Berdasarkan kasus tersebut, Ketahanan dana program JKm mengalami penurunan dan rasio klaim yang cenderung mengalami pengingkatan. 

Ketua Komisi Kebijakan Umum Dewan Jaminan Sosial Nasional Iene Muliati dan juga Indra Budi Sumantoro memberikan tanggapan dalam diskusi kajian faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan dana program JKm yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan, Selasa (29/03).

Iene mengatakan, "melihat kondisi sekarang ini dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sejak 2019 berdampak pada peningkatan manfaat (klaim), peningkatan cadangan teknis (beasiswa berkala), peningkatan rasio klaim dan penurunan kesehatan keuangan serta penurunan jumlah peserta dan peningkatan kasus kematian”.

Untuk itu ada beberapa skenario yang perlu diperhatikan yaitu, kolektabilitas iuran, proyeksi cakupan peserta, skenario relaksasi. "itu mungkin beberapa skenario yang harus dipersiapkan karena kalau kita sudah bisa melihat skenario itu nanti nya akan bisa menjadi bauran kebijakan pemerintah." kata Iene.

Sementara Indra menyampaikan pandangan lain terhadap aspek regulasi seperti review iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) sebesar Rp6.800 dan rekomposisi iuran.

Lebih lanjut Indra mengatakan “perlu adanya diferensiasi iuran bagi PBPU seperti Peserta Penerima Upah, yakni besaran iuran berdasarkan kategorisasi penerimaan upah. Ini menjadi penting untuk meningkatkan ketahanan Dana Jaminan Sosial pada Program Jaminan Kematian. Jumlah kepesertaannya pun perlu ditingkatkan lagi, karena jumlah 22,06 juta peserta itu masih sedikit, apalagi melihat sektor informal yang tidak mencapai 5%.”